DETIKWARGA - Pemilihan
Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta menjadi salah satu momen paling menarik
perhatian di 2017. Namun momen yang kerap disebut berjalan 'brutal' karena
diwarnai praktik politik berbau suku, agama, ras, dan antaragolongan (SARA) itu
dinilai tidak akan terulang di Jawa Barat pada Pilkada Serentak 2018.
Peneliti senior Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro mengatakan, kasus Pilkada DKI Jakarta
tak akan terjadi di daerah lainnya, termasuk Jawa Barat jika para pasangan
calon tidak menggunakan politik identitas sebagai instrumen menangguk suara.
"Kalau calonnya, tutur kata dan perilakunya proper,
tidak bakal terjadi. Masyarakat hanya merespons apa yang dilakukan calon,"
ujar Siti saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (2/1).
Pilkada DKI Jakarta sepanjang 2017 lalu memang diwarnai
sejumlah isu SARA.
Salah satu kandidat yakni Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok
menjadi sasaran demo jutaan orang setelah dituduh menistakan agama Islam.
Warga muslim di sejumlah daerah juga diintimidasi untuk
tidak memilih Ahok karena faktor agama. Bahkan, ada beberapa kasus warga
menolak menyalati jenazah yang diduga memilih Ahok pada putaran pertama.
Siti menyampaikan, ada dua hal yang perlu diperhatikan
terkait politik identitas. Pertama, politik identitas hanya akan bermain dalam
kontestasi Pilkada jika ada kesengajaan pasangan calon yang menggiring dan
mengutarakan secara eksplisit isu SARA.
Kedua, harus dibedakan antara politisasi SARA dan preferensi
pemilih. Menurut Siti, jika pemilih memilih pasangan calon karena identitas
suku, agama, ras, dan sebagainya, tidak ada masalah. Yang masalah adalah saat
identitas tersebut dipolitisasi.
Siti juga menyebut, jangan terlalu mudah menuding preferensi
pemilih sebagai politik identitas. Memang, menurut Siti, ada garis tipis di
antara keduanya, tapi tetap bisa dibedakan jika dilihat secara jernih.
"Jangan melakukan politisasi identitas, seolah-olah
preferensi pemilih selalu sebagai politik identitas," katanya.
Siti menyayangkan pihak-pihak yang memperkeruh suasana
dengan mempolitisasi identitas. Ia mengatakan ini sebagai respons atas tulisan
Buni Yani di akun Twitter pribadinya.
Pada Senin (1/1), Buni berkicau soal Pilkada Jabar 2018
mendatang yang berbau politik identitas. Dalam kicauannya Buni menuturkan bahwa
pola yang digunakan di Pilkada DKI Jakarta 2017 silam dapat dipakai di Pilkada
Jabar 2018 mendatang.
“Pola DKI (Jakarta) bisa dipakai di Pilkada Jabar,” kata
Buni melalui akun Twitter @BuniYani, Selasa (2/1).
Siti menyampaikan, partai politik bertanggung jawab untuk
menghapus praktik politik identitas di perhelatan selanjutnya.
Untuk mencegah politisasi atau pemanfaatan identitas, Siti
berkata partai politik harus lebih giat menggali sosok-sosok calon pemimpin
yang akan diusung agar bisa mendapatkan calon yang mengandalkan visi, misi, dan
program kerja yang jelas.
Program kerja dan visi misi disebut masih menjadi instrumen
utama yang mampu menarik suara ketimbang penggunaan politik identitas. Mereka
yang terpilih, menurut Siti, kemungkinan adalah tokoh yang mengusung program
kerja sesuai kebutuhan daerahnya.
"Siapa yang lebih merepresentasikan kehendak rakyat dan
mampu menganalogikan diri mereka sebagai kebutuhan daerah, pasti yang akan
mendapatkan suara," ucapnya. (cnn)
0 Comments