JAKARTA - Ketua
Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) keberatan namanya disebut
dalam sidang ke delapan penistaan agama dengan terdakwa Basuki T Purnama (
Ahok) pada Selasa 31 Januari lalu. Dia merasa disadap demi kepentingan politik
tertentu terkait perbincangan dengan Ketua Umum MUI Maruf Amin pada 7 Oktober
2016 lalu.
SBY mengakui bahwa ada informasi dari lingkaran kekuasaan
bahwa teleponnya disadap, bahkan rekan dekatnya tak berani untuk langsung
menelepon. Karena takut, rekannya tersebut menyampaikan pesan lewat utusan.
Sayang, SBY tak menyebut siapa rekan tersebut.
SBY merasa yakin tidak yakin bahwa dirinya benar disadap
oleh pihak tertentu di pemerintahan. Namun dia berpesan, bahwa pernah terjadi
skandal yang dinamakan 'watergate' di Amerika. Akibat penyadapan ilegal,
Presiden Amerika Nixon pun mengundurkan diri karena kalau tidak, bisa
digulingkan.
"Skandal watergate dulu kubu Presiden Nixon menyadap
kubu lawan politik yang juga sedang dalam kampanye pemilihan Presiden. Memang
Presiden Nixon terpilih menjadi Presiden, tapi skandal itu terbongkar ada
penyadapan ada typing ada spying itulah yang menyebabkan Presiden Nixon harus
mundur karena kalau tidak beliau akan impeach," kata SBY saat jumpa pers
di Wisma Proklamasi, Jakarta, Rabu (1/2).
SBY mengatakan, penyadapan demi kepentingan politik dan
dilakukan dengan ilegal merupakan kejahatan yang sangat serius. SBY juga
bercerita sering kali ingin bertemu dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk
menjelaskan sejumlah tudingan yang diarahkan kepada dirinya. Sayang, tidak
mendapatkan respons positif dari Jokowi. Menurut SBY, hal itu karena ada orang
yang menghalangi pertemuannya dengan Jokowi. Lagi-lagi, dia tak menyebut siapa
orang tersebut.
"Saya diberitahu oleh orang kalau beliau ingin bertemu
dengan saya tapi beliau dilarang oleh dua dan tiga orang di sekeliling beliau.
Nah dalam hati saya, hebat juga orang itu bisa melarang Presiden kita untuk
bertemu dengan sahabatnya yang juga mantan Presiden. Pada hari yang baik ini
kalau bisa saling melakukan klarifikasi supaya tidak menyimpan prasangka,
praduga, bahkan rasa kecurigaan," jelas SBY.
Dalam kesempatan itu, SBY juga berharap agar diberikan bukti
transkrip atau percakapan antara dirinya dan Maruf Amin. Dia khawatir isi
tersebut ditambah atau dikurangi sehingga bisa berbeda maknanya. Dia juga
meminta Presiden Jokowi untuk menginstruksikan kepada Polri dan penegak hukum
lain memberikan isi transkrip itu kepada dirinya.
"Saya hanya mohon hukum ditegakkan, bola sekarang bukan
ada pada saya, bukan di Pak Maruf Amin, bukan di Pak Ahok dan tim pengacaranya,
tetapi ada di tangan Polri dan para penegak hukum lain, bola di tangan mereka,
dan kalau ternyata yang menyadap institusi negara bola di tangan Bapak Presiden
Jokowi," kata SBY.
Jauh sebelum isu penyadapan ini, SBY juga pernah dibuat
marah besar para awal November 2016 lalu. Dia mendapatkan informasi, ada pihak
yang menuding dirinya sebagai orang yang menggerakkan rencana demo 4 November
dilakukan oleh GNPF-MUI terkait penistaan agama Ahok. SBY bahkan terang-terang
mengeluhkan kinerja Badan Intelijen Negara (BIN).
Saat itu, SBY mengatakan, intelijen harus memberikan data
yang akurat. Dia tak terima dituduh sebagai pihak yang menunggangi aksi demo
besar-besaran pada 4 November.
"Intelijen harus akurat, jangan berkembang menjadi
intelijen yang ngawur dan main tuduh," terang SBY di Cikeas 2 November
lalu.
SBY membandingkan selama kepemimpinannya di Indonesia 10
tahun tak pernah main tuduh orang. Terlebih, dia tak pernah melarang siapapun
untuk melakukan aksi demonstrasi.
"Dulu saya tidak pernah dengan mudah menuduh ada
orang-orang besar mendanai aksi-aksi unjuk rasa, ada orang besar menggerakkan
unjuk rasa. Kalau dikaitkan situasi sekarang kalau ada informasi atau analisis
intelijen seperti itu, saya kira berbahaya. Menuduh seseorang, menuduh sebuah
kalangan, menuduh sebuah parpol, melakukan seperti itu, itu fitnah, fitnah
lebih kejam daripada pembunuhan," tuntas dia. (merdeka)
loading...